SUMBER-SUMBER FILSAFAT TASAWUF

Oleh     : Bona Pablo

Latar Belakang Masalah

Istilah tasawuf dikenal pada abad ke 3 Hijriyah.[1] Istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat, akan tetapi sudah ada embrio-embrionya sejak masa para nabi terdahulu sebelum nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan diajarkanya ilmu tentang Tuhan sejak dahulu. Dalam buku Karen Amrstrong yang berjudul “Sejarah Tuhan“, dia mencantumkan salah satu teori Wilhem Schmit dalam “The Origin of The Idea of God”, terbit pertama kali tahun 1912. Bahwa telah ada suatu monoteisme primitive sebelum manusia melalui menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka hanya mengakui satu Tuhan tertinggi (kadang-kadang disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan ketinggian), masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika[2].

Seiring berjalanya waktu, secara bertahab tasawuf telah tercampuri filsafat, gnotisisme Barat dan gnotisisime Timur. Diperkirakan ini terjadi setelah abad ke-1 H dimana pada masa itu ditandai dengan runtuhnya dinasti Umaiyah untuk kemudian adanya kebangkitan dari dinasti Abasiyyah. Dari sini dapat terlihat telah terjadi pergeseran politik. Jika dinasti Umaiyah lebih didukung oleh masyarakat Arab, maka dinasti Abasiyah memperoleh dukungan dari non Arab[3], terutama filsafat, sehingga tasawuf pada masa itupun dipastikan telah terkontaminasi oleh filsafat, gnotisisme Barat maupun Timur.

Setelah mengupas sedikit sejarah timbulnya Tasawuf falsafi, diperlukan bagi kami untuk mengemukakan juga sumber-sumbernya.

Oleh karena itu kami telah menyajikan sebuah karya tulis tentang sumber-sumber filsafat tasawuf yang didalamnya dipakai sebagai dasar konsep Ketuhanan dalam prespektif aliran Tasawuf Falsafi.

Rumusan Masalah

Sebagaimana kami utarakan awal mula munculnya filsafat tasawuf, maka dirasa perlu bagi penulis untuk mengemukakan juga sumber-sumbernya, yang mana sebagai berikut:

–         Gnotisisme Timur

–         Gnotisisme Barat

–         Islam: al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ilmu Ketuhanan

Batas-batas Masalah

Begitu banyak sumber-sumber filsafat tasawuf yang menjadikan konsep tasawuf telah tercampur dengan pemikiran diluar Islam. Akan tetapi, pada batasan kali ini penulis memberikan batas masalah hanya pada sumber menurut Islam, al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ilmu Ketuhanan saja. Hal ini dikarenakan bahwa gnotisisme Barat dan gnotisisme Timur telah dibahas pada bab yang lain. Oleh karena itu diperlukan batasan masalah agar pembahasanya terfokus pada sumber filsafat tasawuf dalam agama Islam, al-Qur’an, as-Sunnah, dan ilmu ketuhanan.

Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan rumusan dan batasan masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka bisa ditarik sebuah tujuan  bahwa karya tulis ini dibuat agar kita tahu sumber-sumber dari filsafat tasawuf, yang mana sumber-sumber ini asalnya dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ilmu ketuhanan yang dijadikan sebagai dasar-dasar dari  ajaran tasawuf  falsafi pada umumnya.

SUMBER FILSAFAT TASAWUF (Sumber dari Islam)

Tasawuf sendiri bisa dibagi menjadi tiga kelompok, ini juga merujuk pada literature tasawuf yang berasal dari Timur Tengah. Bahwa bisa diklasifikasikan 3 aliran dalam tasawuf yaitu[4]:

  1. Tasawuf akhlaki, yang lebih berorientasi etis.
  2. Tasawuf amali, yang lebih mengutamakan intensitas dan eksentitas ibadah untuk mendapat penghayatan spiritual dalam beribadah.
  3. Tasawuf falsafi yang lebih condong pada mistik metafisis

Dalam pembahasan ini, tasawuf falsafi dirujukkkan pada konsep filsafat tasawuf. Pada umumnya, ajaran filsafat tasawuf diketahui telah bercampur dengan pemikiran-pemikiran di luar Islam, seperti gnotisisme Timur, gnotisisme Barat, dan filsafat, yang mana konsep filsafat tasawuf banyak dipengaruhi oleh neo-Platonisme. Adapun para filsuf Islam yang pertama-tama mengembangkan neo-Platonisme adalah al-Kindi (w. 866 M.), al-Razi (w. 925 M.), al-Farabi (w. 950), dan lain-lain. Melalui matafisika dari beberapa tokoh tersebut, aliran tasawuf falsafi dijadikan sebagai analisis ilmu tentang ke-Tuhanan.

Apabila dibandingkan dengan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi, ditemukan sejumlah persamaan bahwa kedua aliran ini sama-sama mengakui ajarannya berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan perbedaan yang jelas pada kedua aliran tasawuf ini adalah tentang maqam tertinggi yang dicapai pada oleh seorang sufi. Tasawuf sunni berpendapat bahwa setinggi apapun maqam seorang sufi tetap ada jarak (hijab) antara Tuhan dan makhluk. Berbeda dengan tasawuf falsafi, aliran ini lebih menekankan tidak adanya hijab (penghalang) antara Tuhan dan makhluk ketika terjadi persatuan. Penyatuan inilah yang menjadi maqam tertinggi bagi konsep tasawuf falsafi. Dibalik ini adalah beberapa sumber filsafat tasawuf yang berasal dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ilmu ke-Tuhan-an sebagai dasar yang mendukung ajaran aliran tasawuf falsafi.

A. Sumber dari al-Qur’an

Bilamana dilihat secara umum, al-Qur’an sendiri ditafsirkan oleh beberapa tokoh dengan pemikiran yang berbeda. Satu pandangan yang menonjol dalam sekte Islam tertentu ialah bahwa al-Qur’an mempunyai lapisan-lapisan pengertian yang berbeda-beda. Terdapat dua level pemahaman al-Qur’an; level eksoteris, adalah makna harfiah yang jelas bagi pembaca dan dapat dijangkau oleh nalar dan akal sehat. Disamping itu ada juga level esoteris yang lebih mendalam hanya dapat dijangkau oleh orang yang dipilih dan ditahbiskan dengan layak[5].

Begitu pula dengan penafsiran al-Qur’an yang berbeda, ini dipengaruhi oleh adanya pengaruh dan pengalaman yang diterima oleh masing-masing manusia, seperti seorang filsuf, karena ia bergelut dalam dunia kefilsafatan yang condong pada neo-platonisme, maka bentuk tafsirannya pun berbeda dengan filsuf yang masih mengandalkan rasionalisme.

Seringkali al-Qur’an dijadikan sumber Ilmu Pengetahuan, bahkan tentang segala yang ada. Diantaranya yang dijadikan sumber filsafat tasawuf  adalah

Q.S. Al-Baqarah: 115

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah, Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Telah diterangkan maksudnya adalah, kemanapun kita menghadap disitulah wajah Tuhan. Jika ditinjau dari segi keilmuan filsafat ayat ini menunjukkan adanya katerikatan pandangan dengan konsep neo-platonisme. Awal mula segala yang ada diciptakan dari yang telah ada, yakni Tuhan dengan melalui pancaran (emanasi). Jadi, bisa diambil kesimpulan bahwa alam semesta adalah bentuk manifestasi dari Tuhan. Dari teori neo-platonisme inilah nantinya terdapat pandangan bahwa sesungguhnya mahluk yang telah fana’ (ekstase) dari ke-aku-an bisa kembali pada asalnya, yaitu persatuan dengan Tuhan. Adapun ayat-ayat lain yang sejalan dengan surat al-Baqarah ayat 115 adalah:

Q.S.  An-Nur: 35

اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Q.S. Al-Baqarah: 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Q.S. Al-Anfal: 17

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Q.S. Al-Jin: 16

لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً

“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”

Q.S. Ali-Imran: 191

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Q.S. Al-Kahfi: 28

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

Ayat-ayat yang paling sering dijadikan dasar tasawuf falsafi adalah al-Baqarah:115 dan an-Nur: 35.

B. Sumber dari as-Sunnah

Sebelum kami menjabarkan lebih jauh lagi pada masalah sumber yang asalnya dari Sunnah. Penulis masih samar dengan kualitas suatu hadits yang dijadikan sebagai sumber filsafat tasawuf. Apakah hasil tersebut shahih, dho’if atau bahkan maudhu’? Namun demikian untuk menghindari sesuatu yang sifatnya salah besar, penulis memilih untuk mengutip suatu Hadits dari buku “Menggugat Tasawuf” karya prof. Dr. HM. Amin Syakur, MA.

Demikian Haditsnya:

عن  ابى هريرة قال كان رسو ل الله صلى الله عليه وسلم يوما بارز اللناس فأتاه  رجل فقال يا رسول الله ما لإيمان قال ان تؤمن با لله وملا ئكته وكتابه ولقائه ورسوله وتؤمن بالبعث الاخر. قال رسول الله ما الإسلام قال الإسلام ان تعبد الله ولا تشرك به شيئا وتقيم الصلاة المكتوبه وتؤدى الزكاة المغروضة وتصوم رمضان. قال رسول الله مالا حسان قال ان تعبد الله كأنك تراه فإنك ان لاتراه فإنه يراك. (رواه المسلم)

“Sahabat abu Hurairah ra. Berkata bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah SAW berada di tengah-tengah para sahabat, datanglah seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud iman? “Nabi nenjawab: hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, berjumpa denganNya, rasul-rasulNya dan engkau beriman kepada hari kebangkitan. “Apakah Islam itu? “Nabi SAW menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang difardhukan, membayar zakat yang difardhukan, dan berpuasa dibulan Ramadhan.” Kemudian ia bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?” “Nabi Muhammad SAW menjawab: “Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, ketahuilah bahwa sesungguhnya di melihatmu.” Lelaki tersebut membenarkan ucapan atau jawaban Nabi tersebut.” (Riwayat Muslim).

Hadits diatas menunjukkan bahwa kesadaran dan komunikasi dengan Tuhan masih berakar dalam ajaran agama Islam.

Maksud berjumpa deangan Tuhan pada hadits diatas, memungkinkan sebagaimana perjumpaan yang telah dialami oleh Nabi Musa AS, tentunya dengan melalui proses-proses tertentu, yang ujungnya adalah kefanaan jasadiyah dan ke-baqa’an ruhaniyah. Jika sudah baqa’ (kekal) sifat-sifat yang baik (ilahiyat), maka dimungkinkan adanya ittihad, hulul, bahkan wahda al-wujud. Sesuai dengan pengalaman yang dicapai oleh sufi. Adapun hadist yang lain adalah[6]:

لايزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فاد احببته كنت سمعه الدي يسمع وبصره الدي يبسره به ولسانه  االدي ينطق به ويده الدي يبطش بها ورجله الدي يمشى بها فبى يسمع يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمشىز

“Senantiasalah seorang hamba ingin mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha, maka denganKu-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.”

C. Ilmu Ketuhanan

Berbeda dengan sumber-sumber Filsafat Taswuf diatas, jika sumber-sumber diatas merupakan sesuatu yang telah tertulis dalam sebuah teks. Lain halnya dengan ilmu ketuhanan.  Mengenai (teks) pembelajaran Ilmu Ketuhanan bisa melalui teks tertulis, akan tetapi pengalaman spiritual hanya bisa didapat melalui proses-proses tertentu (seperti tariqah dan meditasi) yang nantinya didalam ilmu tasawuf  dijumpai “al-maqamat” dan “al-Hal” sebagai tempat (stasiun) dan keadaan hati seorang sufi pada pengalaman spiritual yang dicapainya.

Berkenaan dengan al-Maqamat yang tujuan akhirnya adalah “fana’ fi al-Haq” (kesadaran leburnya diri dalam samudera Ilahi) harus ditempuh melalui tariqah, riyadah, meditasi dan lain-lain. Tidak demikian dengan al-Hal, “Hal” adalah sesuatu hal yang turun dari hati seseorang yang tidak langgeng. Al-Hal tidak diperoleh dengan jalan  mujahadah, ibadah atau riyadah, sebagaimana al-Maqamat.[7]. Dan disini dapat dilihat bahwa tokoh sufi yang satu dengan yang lain berbeda maqamnya, karena pengalaman spiritual dan tingkahnya hati pun berbeda antara sufi yang satu dengan yang lain.

Adanya maqam-maqam yang berbeda membawa pada suatu pemahaman bahwa dari perbedaan tingkatan maqam itulah seorang sufi dengan sufi yang lain berbeda pendapat mengenai masalah konsep ketuhanan. Contohnya saja ada Ittihad sebagai tokohnya adalah Bayazid. Al-Hallaj, memperkenalkan teori hululnya, Ibnu Arabi dengan al-Wahda al-Wujud, Suhrawardi dengan konsep al-Isyraqiyah dan lain-lain.

Konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat tasawuf hanya mengacu pada pemikiran filsafat tentang emanasi neo-Platonisme. Yang mana neo-platonisme dalam segala bentuk konsep aliran tasawuf falsafi dijadikan sebagai pengantar untuk menganalisis tentang ilmu ketuhanan.

Abu Yazid al-Busthami[8], (lahir sekitar tahun 200 H) adalah seorang sufi dari aliran tasawuf falsafi yang memperkenalkan faham Ittihad (persatuan dengan Tuhan). Menurutnya, ketika seorang telah fana’ (Hilangnya sifat ke-aku-an), maka yang ada hanyalah baqa’nya sifat ketuhanan (sifat lahut). Dari baqa’lah kemudian Bayazid mengalami Ittihad, dimana sewaktu persatuan tersebut terjadi Bayazid sudah tidak merasakan lagi ke-aku-an nya dan keberadaan dirinya. Bahkan dari mulutnya pun keluar suatu ungkapan yang aneh, salah satunya adalah[9]:

انى اناالله لااله الا انا فاعبدنى

“Saya ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku”.

Sedangkan konsep al-Hulul yang diperkenalkan oleh Husain Ibn Mansur al-Hallaj (W. 308 H), merupakan bentuk pengambilan tempat oleh Tuhan pada tubuh manusia tertntu. Yaitu tubuh manusia yang telah fana’. Mungkin dalam faham ini terdapat pengaruh dari aliran atau firqah yang dianut oleh al-Hallaj. Al-Hallaj juga termasuk seorang pemuka aliran Syi’ah Imamiyah yang percaya pada kesucian seorang Imam[10]. Menurut al-Hallaj Tuhan telah mengambil tempat pada orang-orang tertentu, yang mana  jiwa seorang tersebut suci lahir maupun batin. Seperti pandangannya bahwa Tuhan telah mengambil tempat pada tubuh Rasulullah SAW. Ali ra. Dan juga pada tubuh Nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Serta pada Imam-imam kaum Syi’ah setelah Ali bin Abi Thalib ra. Bagi pandangan aliran Syi’ah Imamiyah tokoh-tokoh diatas adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan karena kesucian jiwanya.

Begitu pula dengan Wahda al-Wujud Ibn Arabi. Sistem Ibn Arabi harus diekspresikan dalam istilah-istilah dari apa yang dinamakan tajalliyat “pemunahan atau pengungkapan diri atau manisfestasi-manifestasi”, yakni yang satu memanifestasikan dirinya pada kita[11]. Jadi, alam semesta beserta isinya adalah bentuk manifestasi dari Tuhan. Jika manusia mampu berkaca, maka ia akan mengetahui tentang manifestasi (bayangan) Tuhan.

Beberapa tokoh filsafat tasawuf yang lain adalah Suhrawardi al-Maqtul (W. 578 H), seorang Persia. Pendapatnya yang terkenal ialah bahwa dengan melalui usaha keras dan sungguh-sungguh seperti apa yang dilakukan para sufi (tariqoh, riyadah, meditasi atau khalwat) maka seseorang akan mampu membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali kepangkalan pertama, yakni alam malakut (alam Ilahiyat). Konsep teori ini dikenal dengan sebutan al-Isyraqiyah, yang Suhrawardi tulis dalam bukunya “al-Hikmatul Isyraqiyah“.[12]

Selain dari pada konsep-konsep ketuhanan diatas, seorang Mesir “Ibn Faridh” (W. 633 H) telah mengembangkan konsep wahdatul wujudnya Ibn Arabi menjadi Wahdat as-Syuhud. Konsep ini hampir sama dengan kesatuan wujud Ibn Arabi, karena konsep ketuhanan ini memang dipengaruhi oleh wahdatul wujudnya  Ibn Arabi.

Walaupun tokoh-tokoh diatas lebih mnekankan pada kembalinya mahluk kepada Tuhan melalui perwujudan adanya persatuan yang berkonsepsi tentang asal-usul manusia menurut teori emanasi neo-platonisme. Namun demikian bukan berarti ajaran ilmu ketuhanan yang telah dipaparkan kami adalah benar atau salah. Hal ini dinilai karena adanya pengalaman spiritual yang didapat antara sufi yang satu dengan sufi yang lain tidak pasti sama, dimana pengalaman-pengalaman tersebut menjadikan tingkatan yang berbeda pula pada maqam seorang sufi.

PENUTUP

Dari paparan pembahasan pada bab II, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

–   Yang menjadi dasar argument pada filsafat tasawuf adalah al-Qur’an surat al-Baqarah:115, an-Nur:35, al-Baqarah:186, al-Anfal:17, al-Jin:16, al-Imron:191, al-Kahfi:28.

– Sumber filsafat tasawuf pada as-sunnah, yakni diantaranya adalah cuplikan   hadist dibawah ini:

يا رسول الله ما لإيمان قال ان تؤمن با لله وملا ئكته وكتابه ولقائه ورسوله وتؤمن بالبعث الاخر

“Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud iman? “Nabi nenjawab: hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, berjumpa denganNya, rasul-rasulNya dan engkau beriman kepada hari kebangkitan”.

–         Sedangkan sumber-sumber filsafat tasawuf dalam ilmu ketuhanan, yaitu:

a.       Ittihad, ajaran yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami.

b.      Al-Hulul, yang menjadi konsep temuan dari Al-Hallaj.

c.       Wahdatul Wujud, puncak dari intuisi Ibn ‘Arabi.

d.      Al-Isyraqiyah, yang pertama kali diperkenalkan oleh Suhrawardi al-Maqtul.

e.       Wahdah as-Syuhud Ibn Al-Raridh sebagai pengembangan dari wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi.

DAFTAR PUSTAKA

–         Abbas, Siradjuddin. 1992. I’tiqod Ahlussunnah wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.

–         Affifi. 1995. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi. Jakarta: PT. Media Pratama.

–         Armstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

–         Asy’ari, dkk. 2006. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Ampel Press.

–         Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

–         Ibrahim, Zaki, Muhammad. 2006. Tasawuf Hitam Putih. Solo: Tiga Serangkai.

–         Masyudi, In’amuzzahidin. 2003. Wali Sufi Gila. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.

–         Nasution, Hasyimsyah. 2002. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Utama.

–         Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

–         Nicholson, A. Reynold. 2004. Mistik Islam. Jakrta: MM. Corp.

–         Siregar, Rivay. 2002. Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

–         Solomon, C.Robert. Higgins, M.Kathleen. 2000. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Bentang Budaya.


[1] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). hal. 7

[2] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 135

[3] Asy’ari, dkk, Pengantar Study Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel press,2006), hal. 135

[4] Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). hal.52.

[5] Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, (yogyakarta: Bentang Budaya, 2000). hal.239

[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). hal.182-183.

[7] In’amuzzahidin Masyudi, Wali Sufi Gila, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003). hal.54.

[8] Nama kecilnya Thaifur, lahir di Bistom kawasan pesisir, sekitar tahun 200 H. tentang penulisan namanya terdapat beberapa macam, ada yang menulis dengan Busthami, Bisthami, Bisthomi dan bahkan sering ditulis dengan Bayazid saja.

[9] Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, hal.154.

[10] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah,(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992). hal.137.

[11] Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi,(Jakarta: PT.Gaya Media Pratama, 1995). hal.92.

[12] Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, hal.144.


About this entry